Senin, 14 Maret 2016

TINJAUAN SEMIOTIKA

Tinjauan Teoritik tentang Semiotik

A.  Pengantar
Pemahaman terhadap esensi makna dalam karya sastra tentunya tidak hanya sekedar pemahaman terhadap struktur makna tekstual. Dalam pengertian ini, semiotik memiliki peranan agar esensi yang disampaikan sebuah karya sastra dapat diterima dan dipahami secara menyeluruh oleh pembaca.
Semiotik meskipun didasari pada konvensi tanda bahasa antara pengarang dan pembaca dalam kenyataannya masih diperlukan konvensi yang lain, yaitu konvensi yang ada dalam dunia sastra itu sendiri. Hal ini didasarkan pandangan Culler (dalam Fananie, 2000:143) di antara segala segala sistem tanda, sastralah yang menarik dan kompleks antara lain karena sastra itu sendiri merupakan ekspolarasi dan perenungan terus-menerus mengenai pemberian makna dengan segala bentuknya; penafsiran pengalaman; komentar mengenai keberlakuan berbagai cara menafsirkan pengalaman: peninjauan tentang kekuasaan bahasa yang kreatif; kritik terhadap kode-kode dan proses intepertasi yang terwujud dalam bahasa-bahasa kita kini dan dalam sastra yang mendahului.
Pada makalah ini, akan disajikan sejarah, konsep, penerapan semiotik dalam analisis karya sastra. Ini diharapkan dapat membantu dalam peranan semiotik sebagai sebuah teori dalam karya sastra.
B.     Sejarah Perkembangan
Semiotik telah lama dikenal. Dalam Handbook Of Semeotics Karya  Winfried Noth, ada beberapa pembagian zaman dalam pengenalan istilah semiotik, yaitu zaman kuno, abad pertengahan, zaman renaissance, dan zaman modern.
Pada zaman kuno ada beberapa ahli semiotika yang dikenal, antara lain Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), kaum Stoic (300-200 SM), dan kaum Epicureans (300 SM-abad pertama Masehi). Menurut Plato, semiotika adalah tanda-tanda verbal alami atau yang bersifat konvensional di antara masyarakat tertentu, hanyalah berupa representasi tidak sempurna dari sebuah ide, kajian tentang kata-kata tidak mengungkap hakikat objek yang sebenarnya karena dunia gagasan tidak berkaitan erat dari representasinya yang berbentuk kata-kata, dan pengetahuan yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak langsung  dan lebih rendaah mutunya dari pengetahuan yang langsung. Semiotika menurut Aristoteles adalah tanda-tanda yang ditulis berupa lambang dari apa yang diucapkan, bunyi yang diucapkan adalah tanda dan lambang dari gambaran atau impresi mental. Gambaran atau impresi mental adalah kemiripan dari objek yang sebenarnya, dan gambaran mental tentang kejadian atau objek sama bagi semua manusia tetapi ujaran tidak.
Pada abad pertengahan, perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah, yaitu dengan ditentukannya gramatika  sebagai pilar pendidikan bahasa Latin serta bahasa Latin sebagai titik pusat seluruh pendidikan ; sistem pemikiran dan pendidikan filosofis pada saat itu sangat akrab dengan Teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa. Ciri utama pada zaman abad pertengahan adalah masa keemasannya filusuf Kristiani, terutama Kaum Patristik dan Skolastik. Pendidikan abad pertengahan dibangun dalam tujuh sistem sebagai pilar utamanya dan bersifat liberal.Ketujuh dasar pendidikan liberal tersebut dibedakan atas Trivium (tata bahasa, logika, serta retorik) dan Quadrivium (aritmatika, geometrika, astronomi, dan musik).
 Pada masaRenaissance keberadaan teori mengenai tanda tidak mengalami inovasi yang berarti.Hal ini dikarenakan bahwa sebagian besar penelitian mengenai semiotika masih merupakan bagian dari perkembangan linguistik pada masa sebelumnya.
Pada zaman modern, menurut Zoest (1991:1), ada dua tokoh yang dikenal sebagai bapak semiotik modern, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913).  Keduanya berlatar belakang berbeda. Peirce adalah ahli filsafat, sedangkan Saussure adalah ahli Linguistik. Ketidaksamaan latar belakang itulah yang menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan penting, terutama dalam penerapan konsep-konsep. Hal itu menjadikan ada dua kubu di kalangan pakar dengan pemahaman serta konsep yang berbeda. Pertama, yang bergabung dengan Peirce dan tidak mengambil contoh dari ilmu bahasa; dan kedua, yang bergabung dengan Saussure dan menganggap ilmu bahasa sebagai pemandu.
Sebetulnya sebelum Pierce dan de Saussure memperkenalkan istilah semiotik,  pada akhir abad XVIII seorang filsuf Jerman Lambert telah menggunakan kata semiotika (Zoest, 1993:1). Namun dapatlah dikatakan, bahwa  semiotika merupakan cabang ilmu yang relatif muda. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya baru lebih sering dan lebih sistematis dipelajari pada abad XX. Menurut Zoest (1993:1) ada beberapa penyebab yang dapat dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah Peirce telah menuliskan pemikirannya dalam bidang semiotika pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Baru pada tahun 1930-an Charles Morris dan Max Bense memperkenalkan secara luas tulisan Peirce. Pada saat itu orang sudah menyadari betapa berharganya bahan teoritis tersebut, dan betapa besar kegunaan instrumen pengertian yang dipaparkan dalam tulisan Peirce.
Pierce mengusulkan kata Semiotika sebagai sinonim dari kata logika. Menurutnya Logika harus harus mempelari bagaimana orang yang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dengan mengembangkan teori semiotika, Peirce memusatkan perhatiannya pada berfungsinya tanda pada umumnya. Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Secara lebih tepat, ia telah memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut.
Penemuan Saussure tentang semiotik sebetulnya lebih dulu daripada Peirce. Dia dikenal sebagai peletak dasar ilmu bahasa. Salah satu titik tolak Saussure adalah bahwa bahasa harus dipelajari sebagai salah satu sistem tanda. Kubu Saussure menamainya dengan Semiologi, istilah pinjaman dari linguistik. Namun gagasan Saussure untuk sampai pada ilmu tanda umum, baru mendapatkan perhatian beberapa puluhan tahun setelah dikemukakan.
Di Prancis pengaruh Saussurelah yang telah menandai kerja kaum semiotika. Pierce kurang dikenal disana. Beberapa teksnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Namun secara umum, gagasan-gagasan Pierce belum mendapatkan perhatian yang sepantasnya di Prancis.  Baru setelah penerbitan Oeuvres Completes dan disebarluaskan oleh Charles Morris, teori semiotika aliran Pierce menjajikan harapan.
Di Eropa suksesnya pemikiran semiotik Pierce terasa secara lebih jelas dan efektif dalam karya Umberto Eco (Italia). Dalam Eco, penggunaan konsep-konsep Pierce untuk penelitian di berbagai bidang, yaitu arsitektur, musik, teater, iklan, kebudayaan, dan lain lain, dikemukakan, didiskusikan, dan dibahas.
Sayang, ketika Saussure memberikan kuliah-kuliahnya yang terkenal tentang linguistik umum, ia belum mengenal studi yang telah ditulis pierce pada masa itu. Tulisan Pierce selama setengah abad akan memberikan pengaruh-pengaruh khas pada perkembangan teori linguistik internasional.
Makalah ini tidak dapat mengisi kekosongan yang telah dikemukakan tadi. Walaupun demikian penulis mencoba untuk melihat beberapa kemungkinan penerapan konsep-konsep Pierce dalam bidang analisis sastra.




C.    Kerangka Teori Semiotika
                Secara etimologis, istilah semitotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”( Ratna, 2010: 97).  Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Yusuf (2009:30) menjelaskan bahwa semiotik mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda. Senada dengan pernyataan tersebut Pradopo (dalam Sumampouw, 2010:56) menjelaskan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda. Ilmu ini menganggap fenomena sosial dan kebudayaan sebagai tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda mempunyai arti.
 Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra  yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra  sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat  mana pun. Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Menurut Preminger (1974) (dalam Pradopo, 1999:76) tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal tanda itu, alam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis. Sedangkan petanda adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penada itu .Senjutnya Yusuf  menjelaskan tanda adalah sesuatu yang bersifat representative, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu ( Yusuf, 2009: 30).
            Pierce ( 1839-1914 )  seorang filsuf Amerika (dalam Yusuf, 2009: 31) menyebutkan tiga macam tanda dengan jenis hubunganan tanda dan apa yang ditandakan. Tiga macam tanda tersebut adalah
a.       Ikon.
Ikon merupakan tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Sumampouw (2010:57) hubungan antara penanda dan petanda dalam ikon merupakan hubungan  yang bersifat alamiah. Hubungan tersebut bersifat persamaan. Misalnya saja peta dengan wilayah geografinya.
b.      Indeks
Indeks merupakan tanda yang mengandung hubungan kausal ( sebab-akibat) dengan apa yang  ditandakan. Contonya mendung menandakan akan terjadinya hujan, asap mendakan adanya api. Contoh lain alat penanda angin menunjukkan arah angin.
c.       Simbol
Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan makna dengan apa yang ditandakan bersifat manasuka (arbitrer). Contohnya ibu adalah simbol, artinya ditentukan oleh pemakai bahasa (Indonesia), orang Inggris menyebut ibu dengan mother, orang Jawa dengan mbok.
            Selain ketiga hal tersebut masih ada lagi jenis tanda yang lain, yaitu tanda yang disebut dengan istilah simtom. Prodopo ( 1999:76) menjelaskan bahwa somtom merupakan jenis tanda yang  dapat didefinisikan sebagai gejala, yaitu penanda yang penunjukannya belum pasti. Sebagai contoh suhu panas yang terjadi pada orang sakit tidak menunjuk penyakit tertentu. Suhu tersebut hanya menujukkan bahwa orang tersebut sedang sakit, entah sakit malaria, flu atau yang lain.
Macam-macam Semiotik
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain  semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore). Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.


Bahasa Sebagai Sistem Semiotik
Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan antar -lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk  mengolah informasi dan dialog antar -diri sendiri. Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1) karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, (2) hubungan antarbentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya, (3)  hubungan antara kode dengan pemakainya.Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik  (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut adalah:  (1)sintaktik, yakni komponen yang be rkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya, (2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, (3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media nonbahasa atau nonverbal. Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau pemunculan kinesik, yakni gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu bahasa. Pada sisi lain makna sebagai  label yang mengacu realitas tertentu  juga memiliki sistem hubungannya sendiri  (Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai ( user atau interpreter), menjadi bagian dari sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya,  ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s (1981: 171) mengungkapkan  bahwa the  focus of semiotic interest is on the underlying system of language, not on the parole.

D.    Semiotika Sastra
            Semiotika sebagai sistem lambang apakah dapat diterapkan pada kajian karya sastra? Menurut Aminuddin (2010:124)  ada dua pertanyaan sehubungan dengan hal tersebut. Pertanyaan itu adalah apakah sastra mengandung lambang, bagaimanakah perbedaannya dengan sistem lambang yang ada di luar teks sastra.
            Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu pahami terlebih dahulu bahwa karya sastra merupakan salah satu sarana komunikasi. Sebagai sarana komunikasi sastra menggunakan  media bahasa. Sebagai sarana komunikasi sastra menggunakan tanda-tanda tertentu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Pradopo (1999:77) menjelaskan bahwa karya sastra adalah karya seni yang menggunakan media bahasa.  Bahasa adalah bahan karya sastra. Oleh karena itu menurut Pradopo (1999:77) dalam lapangan semiotika karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua, sedang  sistem semiotik tingkat pertama adalah bahasa  yang digunakan sarana komunikasi di luar sastra.
            Dikarenakan karya satra memiliki ciri sebagai tanda, maka karya sastra masuk dalam kajian ilmu semiotika. Hal tersebut sesuai dengan Eco (dalam Ratna, 2010: 106) beberapa bidang terapan semiotika antara lain bahasa, medis, budaya, esteika, komunikasi, musik, arsitektur dan lain sebagainya.
            Secara sederhana karya sastra dapat dipakai sebagai sarana komunikasi. Namun bagaimana komunikasi yang terjadi karya sastra sehingga apa yang ingin disampaikan oleh pengarang sampai kepada pembacanya.
Menurut Nasution (2008: 10), sastra penuh dengan tanda-tanda dan memiliki  sistem yang secara lebih besar dikaitkan dengan kode. Oleh karena itu untuk menafsirkan karya sastra perlu pemahaman terhadap kode yang ada dalam karya sastra. Kode dalam karya sastra berhubungan dengan sosial budaya yang dipahami oleh sastrawan. Sehingga pembaca perlu memahami sosial budaya apa yang digambarkan oleh satrawan dalam karyanya.
            Sedangkan menurut Ratna (2010:112) tanda-tanda dalam sastra tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara penulis, karya sastra dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya. Artinya untuk memaknai tanda dalam karya sastra pembaca perlu menghubungkan antara teks sastra dan kehidupan di luar teks sasta. Tentu hal ini berkaitan erat dengan kemampuan pembaca menghubungkan dunia sastra dengan dunia di luar sastra. Oleh karena itu menurut Nasution (2008: 110) untuk memahami sastra sebagai tanda perlu bantuan ilmu lain. Ilmu  yang dapat membantu dalam hal ini adalah ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, politik, hukum, agama dan lain sebagainya.

E.     Pemaknaan Tanda dalam Karya Sastra.
            Telah disebutkan di  atas bahwa sastra merupakan sistem tanda kedua. Sistem tanda yang pertama adalah bahasa. Menurut Roland Barther (dalam Nasution, 2008: 111) sistem tanda tingkat kedua dibangun dengan cara menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama menjadi penada dan petanda baru dalam sistem tanda tingkat kedua. Sistem tanda tingkat pertama disebut denotative/ terminology sedangkan system tanda tingkat kedua disebut konotatif/ retoris/mitologi.
            Menurut Jajasudarma (2009:13) makna konotatif dibedakan berdasarkan masyarakat pencipanya atau menurut individu penciptanya. Senada dengan hal tersebut, menurut Nasution (2008 : 111) pemaknaan sistem tanda tingkat kedua dihubungkan dengan konteks sosial budaya yang di dalamnya memuat mitologi dan idiologi.
    Menurut Barthes dalam (Nasution:111) merumuskan tanda sebagai system yang  terdiri dari expression (E) yang berkaitan (relation R) dengan content (C). Ia berpendapat bahwa E-R-C adalah system tanda dasar dan umum. Teori tanda tersebut dikembangkannya dan ia menghasilkan teori denotasi dan konotasi. Menurutnya, content dapat dikembangkan. Akibatnya, tanda pertama (E1R1C1) dapat menjadi E2 sehingga terbentuk tanda kedua: E2(=E1R1C1)R2 C2. Tanda pertama disebutnya sebagai denotasi; yang kedua disebutnya semiotik konotatif. Barthes menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:

Tanda skunder konotasi
 
Expression 2      ( R
Tanda  primer 
denotasi
 
MERAH
2 )  Content 2
Gembira/ komunis
Expression1(R   
MERAH
1)      Content 1
Marah



Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif,  berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata merah bermakna warna seperti warna darah‟ (secara lebih objektif, makna dapat di- gambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah poli- semi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang sub- jektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotasi dimunculkan  melalui:  majas  (metafora,  metonimi,  hiperbola,  eufemisme,  ironi,  dsb), presuposisi, implikatur. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dsb. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung.
Hubungan simbolik muncul sebagai hasil dari hubungan  tanda dengan dirinya sendiri atau hubungan internal (hubungan penanda  dan  petanda) Hubungan  simbolik  ini  menunjuk  pada  status kemandirian tanda untuk diakui keberadaannya dan dipakai fungsinya tanpa tergantung  pada  hubungannya  dengan  tanda-tanda  lain.  Kemandirian  ini membuat tanda tersebut menduduki status simbol.
Kata siliwangi menjadi simbol bagi masyarakat Sunda, khususnya bag keluarga   yang  mengaku  sebagai  turunannya.  Simbol  ini  adalah pengakuan teureuh  menak Sunda trah ningrat. Simbol ini meliputi darah biru, dangiang pamor, aura’,  kekayaan, materi, kekuasaan tempat, hingga gaya hidup. Dengan demikian kata siliwangi  dalam buyada Sunda  adalah  sebuah  penanda.  Petandanya  adalah tokoh kharismatik yang memancarkan kehormatan (martabat), kebanggaan (patriotisme),  dan kekuasaan (kekuatan  raja  atas  wilayahnya)’. Siliwangi adalah  sebuah  penanda  dan  petanda  barunya  adalah  identitas  diri  bagi masyarakat Sunda’.
Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar  menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula  dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics  (1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (193 - 1993),  Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada  Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang  telah diacu oleh banyak ahli semiotik,  hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena.  Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural  yaitu menganalisis hubungan-hubungan internal bagian-bagian  dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam konteks perkembangan kajian budaya harus dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah lahir sesudahnya. Sebenarnya  bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotik (oleh de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang  kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat) (Hoed, 2002:1). Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri-ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem tanda (evolusi).
Makna Kata ‘Tanda’
Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan  seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan  itu adalah mufakat (de Saussure, 1986:10).
Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan ( unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga  dalam benak orang tersebut tidak  menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de
Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing. Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotik adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari,  tetapi juga  segala  sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects.  Sementara De Saussure menyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda-tandasebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs  as a part of social life). Bagi Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign.
Van Zoest (1993) memberikan lima ciri  dari tanda. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang-kerang yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita menganggap dan menginterpretasikannya sebagai tanda. Kedua,  tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam  hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’. Keempat, tanda memiliki sifat epresentatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat inter-pretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran di sana duduk-duduk orang Jerman. Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi. Semiotik Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion  yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari  kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial  (Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis,  semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1).
Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa  analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand De DeSaussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914). Peirce menyebut  model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda.  Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebut-kan di depan bahwa de Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics  (1913).
Dalam buku itu De Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign).  Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de Saussure, 1988:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain-lainya.
Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental. Siapakah Peirce?  Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensioanl. Bagi teman -teman sejamannya  ia terlalu orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskin-an Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman -temannya.
Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan,  sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan  8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce.
Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.
Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali (Hoed, 2002:21).  Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represent something else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O).  Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara  R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretattif. Teori Peirce tentang tanda  memperlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Bagaimanakah  hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed (2002:25), apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O).
Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebuah pabrik ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat  potret sebuah mobil, maka ia  melihat sebuah  R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni  mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas.Akhirnya apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan  antara R dan O bersifat konvensional.
Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap-tahap. Ada tahap
kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain, keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut.
Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland Barthes (1915 - 1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes kompone -komponen tanda penanda - petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lain terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988).
Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes demikian juga model De de Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan. Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semios is, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4).
Penelitian yang menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis, diganti oleh penelitian yang disebut praktek arti ( betekenis praktijk). Para ahli semiotika jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan analisis mereka dengan pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang sukses zaman itu, yakni psikoanalisis dan marxisme (van Zoest, 1993:5).Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is constructed as a hierarchy of semantic systems  (Lotman, 1971:61). Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang digunakannya.
Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antaranggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah dilakukan identifikasi.  Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa bunyi prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri.
Dengan adanya identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik bagi penutur maupun bagi penanggapnya.
Daftar Pustaka

Aminuddin. 2009. Pengantar  Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Abrams, M.H.,  1981.A Glosary of Literary Term.New York: Holt, Rinehart and Wiston.

Budiman, Manneke. 2002 “Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak  Jakarta:Wedatama Widya Sastra.

De de Saussure, F. 1988. Course in General Linguistics.Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Hoed, Benny H. 2002.“Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak .Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Nasutiaon, Ikhwanuddin. 2008. “Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra: Suatu Proses Komunikasi”dalam Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Universitas Sumatra Utara Vol No 2 Oktober 2008.