Tinjauan
Teoritik tentang Semiotik
A. Pengantar
Pemahaman
terhadap esensi makna dalam karya sastra tentunya tidak hanya sekedar pemahaman
terhadap struktur makna tekstual. Dalam pengertian ini, semiotik memiliki
peranan agar esensi yang disampaikan sebuah karya sastra dapat diterima dan
dipahami secara menyeluruh oleh pembaca.
Semiotik
meskipun didasari pada konvensi tanda bahasa antara pengarang dan pembaca dalam
kenyataannya masih diperlukan konvensi yang lain, yaitu konvensi yang ada dalam
dunia sastra itu sendiri. Hal ini didasarkan pandangan Culler (dalam Fananie,
2000:143) di antara segala segala sistem tanda, sastralah yang menarik dan
kompleks antara lain karena sastra itu sendiri merupakan ekspolarasi dan
perenungan terus-menerus mengenai pemberian makna dengan segala bentuknya;
penafsiran pengalaman; komentar mengenai keberlakuan berbagai cara menafsirkan
pengalaman: peninjauan tentang kekuasaan bahasa yang kreatif; kritik terhadap
kode-kode dan proses intepertasi yang terwujud dalam bahasa-bahasa kita kini
dan dalam sastra yang mendahului.
Pada makalah
ini, akan disajikan sejarah, konsep, penerapan semiotik dalam analisis karya
sastra. Ini diharapkan dapat membantu dalam peranan semiotik sebagai sebuah
teori dalam karya sastra.
B. Sejarah
Perkembangan
Semiotik telah lama dikenal. Dalam Handbook Of Semeotics Karya
Winfried Noth, ada beberapa pembagian zaman dalam pengenalan istilah semiotik,
yaitu zaman kuno, abad pertengahan, zaman renaissance, dan zaman modern.
Pada zaman kuno ada beberapa ahli semiotika yang dikenal, antara
lain Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), kaum Stoic (300-200
SM), dan kaum Epicureans (300 SM-abad pertama Masehi). Menurut Plato,
semiotika adalah tanda-tanda verbal alami atau yang bersifat konvensional di
antara masyarakat tertentu, hanyalah berupa representasi tidak sempurna dari
sebuah ide, kajian tentang kata-kata tidak mengungkap hakikat objek yang
sebenarnya karena dunia gagasan tidak berkaitan erat dari representasinya yang
berbentuk kata-kata, dan pengetahuan yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat
tidak langsung dan lebih rendaah mutunya dari pengetahuan yang langsung. Semiotika
menurut Aristoteles adalah tanda-tanda yang ditulis berupa lambang dari apa
yang diucapkan, bunyi yang diucapkan adalah tanda dan lambang dari gambaran
atau impresi mental. Gambaran atau impresi mental adalah kemiripan dari objek
yang sebenarnya, dan gambaran mental tentang kejadian atau objek sama bagi
semua manusia tetapi ujaran tidak.
Pada abad pertengahan, perkembangan filsafat bahasa menuju
pada dua arah, yaitu dengan ditentukannya gramatika sebagai pilar
pendidikan bahasa Latin serta bahasa Latin sebagai titik pusat seluruh
pendidikan ; sistem pemikiran dan pendidikan filosofis pada saat itu sangat
akrab dengan Teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis
bahasa. Ciri utama pada zaman abad pertengahan adalah masa keemasannya filusuf
Kristiani, terutama Kaum Patristik dan Skolastik. Pendidikan abad pertengahan
dibangun dalam tujuh sistem sebagai pilar utamanya dan bersifat liberal.Ketujuh
dasar pendidikan liberal tersebut dibedakan atas Trivium (tata bahasa,
logika, serta retorik) dan Quadrivium (aritmatika, geometrika,
astronomi, dan musik).
Pada masaRenaissance
keberadaan teori mengenai tanda tidak mengalami inovasi yang berarti.Hal ini
dikarenakan bahwa sebagian besar penelitian mengenai semiotika masih merupakan
bagian dari perkembangan linguistik pada masa sebelumnya.
Pada zaman
modern, menurut Zoest (1991:1), ada dua tokoh yang dikenal sebagai bapak
semiotik modern, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de
Saussure (1857-1913). Keduanya berlatar
belakang berbeda. Peirce adalah ahli filsafat, sedangkan Saussure adalah ahli
Linguistik. Ketidaksamaan latar belakang itulah yang menyebabkan adanya
perbedaan-perbedaan penting, terutama dalam penerapan konsep-konsep. Hal itu
menjadikan ada dua kubu di kalangan pakar dengan pemahaman serta konsep yang
berbeda. Pertama, yang bergabung dengan Peirce dan tidak mengambil contoh dari
ilmu bahasa; dan kedua, yang bergabung dengan Saussure dan menganggap ilmu
bahasa sebagai pemandu.
Sebetulnya
sebelum Pierce dan de Saussure memperkenalkan istilah semiotik, pada akhir abad XVIII seorang filsuf Jerman
Lambert telah menggunakan kata semiotika (Zoest, 1993:1). Namun dapatlah
dikatakan, bahwa semiotika merupakan
cabang ilmu yang relatif muda. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya baru lebih sering dan lebih sistematis dipelajari pada
abad XX. Menurut Zoest (1993:1) ada beberapa penyebab yang dapat dikemukakan.
Salah satu diantaranya adalah Peirce telah menuliskan pemikirannya dalam bidang
semiotika pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Baru pada tahun 1930-an Charles
Morris dan Max Bense memperkenalkan secara luas tulisan Peirce. Pada saat itu
orang sudah menyadari betapa berharganya bahan teoritis tersebut, dan betapa
besar kegunaan instrumen pengertian yang dipaparkan dalam tulisan Peirce.
Pierce
mengusulkan kata Semiotika sebagai sinonim dari kata logika. Menurutnya
Logika harus harus mempelari bagaimana orang yang bernalar. Penalaran itu,
menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda.
Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan
memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dengan mengembangkan
teori semiotika, Peirce memusatkan perhatiannya pada berfungsinya tanda pada
umumnya. Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Secara lebih tepat,
ia telah memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut.
Penemuan
Saussure tentang semiotik sebetulnya lebih dulu daripada Peirce. Dia dikenal
sebagai peletak dasar ilmu bahasa. Salah satu titik tolak Saussure adalah bahwa
bahasa harus dipelajari sebagai salah satu sistem tanda. Kubu Saussure
menamainya dengan Semiologi, istilah pinjaman dari linguistik. Namun
gagasan Saussure untuk sampai pada ilmu tanda umum, baru mendapatkan perhatian
beberapa puluhan tahun setelah dikemukakan.
Di Prancis pengaruh
Saussurelah yang telah menandai kerja kaum semiotika. Pierce kurang dikenal
disana. Beberapa teksnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Namun
secara umum, gagasan-gagasan Pierce belum mendapatkan perhatian yang
sepantasnya di Prancis. Baru setelah
penerbitan Oeuvres Completes dan disebarluaskan oleh Charles Morris,
teori semiotika aliran Pierce menjajikan harapan.
Di Eropa
suksesnya pemikiran semiotik Pierce terasa secara lebih jelas dan efektif dalam
karya Umberto Eco (Italia). Dalam Eco, penggunaan konsep-konsep Pierce untuk
penelitian di berbagai bidang, yaitu arsitektur, musik, teater, iklan,
kebudayaan, dan lain lain, dikemukakan, didiskusikan, dan dibahas.
Sayang, ketika
Saussure memberikan kuliah-kuliahnya yang terkenal tentang linguistik umum, ia
belum mengenal studi yang telah ditulis pierce pada masa itu. Tulisan Pierce
selama setengah abad akan memberikan pengaruh-pengaruh khas pada perkembangan
teori linguistik internasional.
Makalah ini
tidak dapat mengisi kekosongan yang telah dikemukakan tadi. Walaupun demikian
penulis mencoba untuk melihat beberapa kemungkinan penerapan konsep-konsep
Pierce dalam bidang analisis sastra.
C.
Kerangka
Teori Semiotika
Secara etimologis, istilah semitotika berasal dari
kata Yunani semeion yang berarti “tanda”( Ratna, 2010: 97). Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang atas
dasar konvensi sosial terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain. Yusuf (2009:30) menjelaskan bahwa semiotik mempelajari berbagai
objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda. Senada dengan
pernyataan tersebut Pradopo (dalam Sumampouw, 2010:56) menjelaskan bahwa
semiotika adalah ilmu tentang tanda. Ilmu ini menganggap fenomena sosial dan
kebudayaan sebagai tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda mempunyai arti.
Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan
semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya
menjadi model sastra yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala
susastra sebagai alat komunikasi yang
khas di dalam masyarakat mana pun.
Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis
pada abad kedua puluh.
Menurut
Preminger (1974) (dalam Pradopo, 1999:76) tanda mempunyai dua aspek, yaitu
penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal tanda itu, alam bahasa berupa
satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis. Sedangkan petanda adalah artinya,
yaitu apa yang ditandai oleh penada itu .Senjutnya Yusuf menjelaskan tanda adalah sesuatu yang
bersifat representative, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi
tertentu ( Yusuf, 2009: 30).
Pierce
( 1839-1914 ) seorang filsuf Amerika
(dalam Yusuf, 2009: 31) menyebutkan tiga macam tanda dengan jenis hubunganan
tanda dan apa yang ditandakan. Tiga macam tanda tersebut adalah
a.
Ikon.
Ikon
merupakan tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Sumampouw (2010:57) hubungan antara
penanda dan petanda dalam ikon merupakan hubungan yang bersifat alamiah. Hubungan tersebut bersifat persamaan. Misalnya
saja peta dengan wilayah geografinya.
b.
Indeks
Indeks merupakan tanda yang mengandung hubungan kausal ( sebab-akibat)
dengan apa yang ditandakan. Contonya
mendung menandakan akan terjadinya hujan, asap mendakan adanya api. Contoh lain
alat penanda angin menunjukkan arah angin.
c.
Simbol
Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan
makna dengan apa yang ditandakan bersifat manasuka (arbitrer). Contohnya ibu
adalah simbol,
artinya ditentukan oleh pemakai bahasa (Indonesia), orang Inggris menyebut ibu
dengan mother,
orang Jawa dengan mbok.
Selain
ketiga hal tersebut masih ada lagi jenis tanda yang lain, yaitu tanda yang disebut
dengan istilah simtom. Prodopo ( 1999:76) menjelaskan bahwa somtom merupakan
jenis tanda yang dapat didefinisikan
sebagai gejala, yaitu penanda yang penunjukannya belum pasti. Sebagai contoh
suhu panas yang terjadi pada orang sakit tidak menunjuk penyakit tertentu. Suhu
tersebut hanya menujukkan bahwa orang tersebut sedang sakit, entah sakit
malaria, flu atau yang lain.
Macam-macam
Semiotik
Sampai saat ini,
sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda,
dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal
zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
Semiotik
analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa
semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna.
Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat
dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. Semiotik deskriptif adalah
semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang
meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang.
Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan
sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik
yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat.
Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang
berwujud mitos dan c erita lisan (folklore). Semiotik natural atau semiotik
yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif merupakan
semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud
norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata
maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah
semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui
struktur bahasa.
Bahasa Sebagai
Sistem Semiotik
Bahasa dalam
pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan
makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan antar -lambang kebahasaan
itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional
yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki
fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan
untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan dialog antar -diri
sendiri. Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1)
karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang
lainnya, (2) hubungan antarbentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya,
(3) hubungan antara kode dengan
pemakainya.Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut
baik berupa tanda kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia
dalam komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan
adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam sistem
semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut
adalah: (1)sintaktik, yakni komponen
yang be rkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya, (2) semantik,
yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia
luar yang diacunya, (3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang
berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari
sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat dibedakan
antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media nonbahasa atau nonverbal.
Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel
dibedakan pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan
misalnya, wujud kalimat perintah dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan
lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau pemunculan kinesik, yakni gerak
bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan kalimat selalu
dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah penataan
lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu
bahasa. Pada sisi lain makna sebagai
label yang mengacu realitas tertentu
juga memiliki sistem hubungannya sendiri
(Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik
yakni hubungan antara tanda dengan pemakai ( user atau interpreter), menjadi
bagian dari sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah satu cabang kajiannya
karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih
luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan
tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya,
ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan
pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan
dengan itu Abram’s (1981: 171) mengungkapkan
bahwa the focus of semiotic
interest is on the underlying system of language, not on the parole.
D.
Semiotika Sastra
Semiotika
sebagai sistem lambang apakah dapat diterapkan pada kajian karya sastra?
Menurut Aminuddin (2010:124) ada dua
pertanyaan sehubungan dengan hal tersebut. Pertanyaan itu adalah apakah sastra mengandung lambang,
bagaimanakah perbedaannya dengan sistem lambang yang ada di luar teks sastra.
Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut perlu pahami terlebih dahulu bahwa karya sastra
merupakan salah satu sarana komunikasi. Sebagai sarana komunikasi sastra
menggunakan media bahasa. Sebagai sarana
komunikasi sastra menggunakan tanda-tanda tertentu. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Pradopo (1999:77) menjelaskan bahwa karya sastra
adalah karya seni yang menggunakan media bahasa. Bahasa adalah bahan karya sastra. Oleh karena
itu menurut Pradopo (1999:77) dalam lapangan semiotika karya sastra merupakan sistem
semiotik tingkat kedua, sedang sistem
semiotik tingkat pertama adalah bahasa
yang digunakan sarana komunikasi di luar sastra.
Dikarenakan
karya satra memiliki ciri sebagai tanda, maka karya sastra masuk dalam kajian
ilmu semiotika. Hal tersebut sesuai dengan Eco (dalam Ratna, 2010: 106) beberapa bidang terapan
semiotika antara lain bahasa, medis, budaya, esteika, komunikasi, musik,
arsitektur dan lain sebagainya.
Secara
sederhana karya sastra dapat dipakai sebagai sarana komunikasi. Namun bagaimana
komunikasi yang terjadi karya sastra sehingga apa yang ingin disampaikan oleh
pengarang sampai kepada pembacanya.
Menurut
Nasution (2008: 10), sastra penuh dengan tanda-tanda dan memiliki sistem yang secara lebih besar dikaitkan
dengan kode. Oleh karena itu untuk menafsirkan karya sastra perlu pemahaman
terhadap kode yang ada dalam karya sastra. Kode dalam karya sastra berhubungan
dengan sosial budaya yang dipahami oleh sastrawan. Sehingga pembaca perlu
memahami sosial budaya apa yang digambarkan oleh satrawan dalam karyanya.
Sedangkan menurut Ratna (2010:112)
tanda-tanda dalam sastra tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara
penulis, karya sastra dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang
sangat kaya. Artinya untuk memaknai tanda dalam karya sastra pembaca perlu
menghubungkan antara teks sastra dan kehidupan di luar teks sasta. Tentu hal
ini berkaitan erat dengan kemampuan pembaca menghubungkan dunia sastra dengan
dunia di luar sastra. Oleh karena itu menurut Nasution (2008: 110) untuk
memahami sastra sebagai tanda perlu bantuan ilmu lain. Ilmu yang dapat membantu dalam hal ini adalah ilmu
sosiologi, antropologi, psikologi, politik, hukum, agama dan lain sebagainya.
E.
Pemaknaan Tanda dalam Karya Sastra.
Telah
disebutkan di atas bahwa sastra
merupakan sistem tanda kedua. Sistem tanda yang pertama adalah bahasa. Menurut
Roland Barther (dalam Nasution, 2008: 111) sistem tanda tingkat kedua dibangun
dengan cara menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama menjadi penada dan petanda
baru dalam sistem tanda tingkat kedua. Sistem tanda tingkat pertama disebut
denotative/ terminology sedangkan system tanda tingkat kedua disebut konotatif/
retoris/mitologi.
Menurut
Jajasudarma (2009:13) makna konotatif dibedakan berdasarkan masyarakat
pencipanya atau menurut individu penciptanya. Senada dengan hal tersebut,
menurut Nasution (2008 : 111) pemaknaan sistem tanda tingkat kedua dihubungkan
dengan konteks sosial budaya yang di dalamnya memuat mitologi dan idiologi.
Menurut Barthes dalam (Nasution:111) merumuskan
tanda sebagai system yang terdiri
dari expression
(E) yang berkaitan (relation
R) dengan content
(C). Ia berpendapat
bahwa E-R-C
adalah
system tanda dasar dan umum.
Teori
tanda tersebut dikembangkannya
dan ia menghasilkan teori
denotasi dan konotasi. Menurutnya, content
dapat dikembangkan. Akibatnya,
tanda pertama (E1R1C1) dapat
menjadi
E2 sehingga terbentuk tanda kedua:
E2(=E1R1C1)R2 C2. Tanda pertama disebutnya
sebagai denotasi;
yang kedua disebutnya semiotik konotatif. Barthes menggambarkan hubungan kedua
makna
tersebut sebagai
berikut:
Expression 2 ( R
MERAH
|
2 ) Content 2
Gembira/ komunis
|
|||||
Expression1(R
MERAH
|
1)
Content 1
Marah
|
|
||||
Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi
sebagai makna
yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang
pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata merah bermakna „warna seperti warna darah‟ (secara lebih objektif,
makna dapat di-
gambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah poli- semi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang
sub- jektif. Konotasi membuka
kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotasi
dimunculkan melalui: majas
(metafora,
metonimi,
hiperbola, eufemisme, ironi, dsb), presuposisi,
implikatur. Secara umum (bukan
bahasa),
konotasi berkaitan dengan
pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi
emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dsb. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: MERAH
bermakna konotatif emotif.
Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung.
Hubungan simbolik muncul sebagai hasil dari hubungan
tanda dengan dirinya sendiri atau hubungan internal (hubungan penanda dan
petanda). Hubungan
simbolik
ini menunjuk
pada status
kemandirian tanda untuk diakui keberadaannya dan dipakai fungsinya tanpa tergantung
pada hubungannya
dengan tanda-tanda lain.
Kemandirian ini membuat tanda tersebut menduduki
status simbol.
Kata ‘siliwangi’ menjadi simbol bagi masyarakat Sunda, khususnya bagi keluarga yang mengaku sebagai turunannya.
Simbol ini
adalah pengakuan teureuh
menak Sunda ‘trah ningrat’. Simbol ini meliputi darah biru, dangiang ‘pamor, aura’, kekayaan, materi, kekuasaan tempat, hingga gaya
hidup. Dengan demikian kata siliwangi
dalam buyada Sunda adalah sebuah penanda. Petandanya
adalah
‘tokoh kharismatik yang memancarkan kehormatan (martabat), kebanggaan (patriotisme), dan kekuasaan (kekuatan
raja
atas wilayahnya)’. Siliwangi
adalah
sebuah
penanda dan
petanda barunya
adalah
‘identitas diri bagi
masyarakat Sunda’.
Kalau
kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya
Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai
Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam
bukunya Course in General Linguistics
(1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles
Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris
(1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang
mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980),
Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (193
- 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia
Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics
framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 -
1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude
Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme
adalah sebuah metode yang telah diacu oleh
banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan
pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan
sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme,
Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative.
Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur
luar (surface structure) sebuah fenomena.
Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan-hubungan internal
bagian-bagian dengan a self contained
system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang
spesifik.
Melihat
kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme
dalam konteks perkembangan kajian budaya harus dilakukan dalam konteks perkembangannya
ke semiotik yang seolah-olah lahir sesudahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-kuliah
Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotik
(oleh de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat) (Hoed,
2002:1). Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di
Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya
dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke
semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri-ciri
strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan yang sifatnya mulai
meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai
sistem tanda (evolusi).
Makna Kata
‘Tanda’
Bagi de
Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan
sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan
itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan
seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata
arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang
terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/
disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon
(bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah
antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut
hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah mufakat (de Saussure, 1986:10).
Oleh sebab itu
bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi)
di atas dasar yang tak beralasan ( unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai
contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi
dengan konsep tentang bunga dalam benak
orang tersebut tidak menunjukkan adanya
batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan
petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu
karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti
apa-apa.
Petanda selalu
akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya
ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai
penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam
tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah
sistem bahasa menurut de
Saussure
dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah
tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan
melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing
karena ia bukan anjing atau bajing. Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari
tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with everything
that can be taken as a sign. Semiotik adalah studi yang tidak hanya merujuk
pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga
segala sesuatu yang merujuk pada
bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects. Sementara De Saussure menyebut ilmu ini
dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda-tandasebagai bagian
dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs as a part of social life). Bagi Peirce
(1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to logic.
Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something
in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every
thought is a sign.
Van Zoest (1993)
memberikan lima ciri dari tanda.
Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai
contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam
kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk)
dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang-kerang yang sedemikian rupa sehingga
membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang
Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu
bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita menganggap
dan menginterpretasikannya sebagai tanda. Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat
mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu
diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar
dari orang lain.
Ketiga, merujuk
pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di
Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’,
‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’. Keempat, tanda memiliki sifat epresentatif dan
sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat inter-pretatif, karena pada
kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada
suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran di sana duduk-duduk orang Jerman. Kelima,
sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce
menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg
sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui
bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata
itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan
lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan,
perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang
dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda
yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan
interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi. Semiotik
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani
semeion yang berarti “tanda”. Istilah
semeion tampaknya diturunkan dari
kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada
simtomatologi dan diagnostik inferensial
(Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang
menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan
dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest,
1993:1).
Para ahli
semiotik modern mengatakan bahwa analisis
semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang
berasal dari Swiss bernama Ferdinand De DeSaussure (1857 - 1913) dan seorang
filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914). Peirce
menyebut model sistem analisisnya dengan
semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan
untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de
Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya
berfokus pada tanda. Seperti telah disebut-kan di depan bahwa de Saussure
menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics (1913).
Dalam buku itu De
Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat.
Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik.
Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda).
Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept
and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah
tanda ( sign). Jadi de Saussure mem-bagi
tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified
(atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
Semiologi
didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa
makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem
pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana
ada sistem (de Saussure, 1988:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu
cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk se-miologi.
Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda
bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter
dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain-lainya.
Dalam
perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf
Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih
terperinci daripada tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu
istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi
lebih dikenal di Eropa Kontinental. Siapakah Peirce? Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf
Amerika yang paling orisinal dan multidimensioanl. Bagi teman -teman
sejamannya ia terlalu orisional. Dalam
kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan
meninggal dalam kemiskin-an Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak
diberikan oleh teman -temannya.
Peirce banyak
menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan
sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss
menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of
Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang
terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce.
Peirce selain
seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu
bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam
tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika
baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya
berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam
komunikasi.
Model tanda yang
dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri
struktural sama sekali (Hoed, 2002:21).
Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represent
something else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara
tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah
bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada
sesuatu yang diwakili olehnya (O). Kemudian
I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda
tidak hanya representatif, tetapi juga interpretattif. Teori Peirce tentang
tanda memperlihatkan pemaknaan tanda
seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu
disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa Peirce membedakan
tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti
yang dicontohkan Hoed (2002:25), apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota
seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang
dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik
(O).
Setelah itu ia
menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebuah pabrik ban mobil. Tanda seperti itu
disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang
kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O
yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya
adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I).
Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan
identitas.Akhirnya apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R),
maka dalam kognisinya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya
ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda
seperti itu disebut lambang yakni hubungan
antara R dan O bersifat konvensional.
Peirce juga
mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap-tahap. Ada tahap
kepertamaan (firstness) yakni saat
tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan
seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain, keberadaan dari kemungkinan
yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai secara
individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai secara
tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam
suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan
tersebut.
Salah seorang
sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland Barthes
(1915 - 1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang
karya-karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi
Barthes kompone -komponen tanda penanda - petanda terdapat juga pada tanda
-tanda bukan bahasa antara lain terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan sistem
citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan
menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988).
Dalam kaitan
dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek emotif)
sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes demikian juga
model De de Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah
satu aspek kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur
-unsur kebu-dayaan. Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan
semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi
diri pada analisis secara semios is, tetapi juga menerapkan pendekatan
konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari
arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest,
1993:4).
Penelitian yang
menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis, diganti
oleh penelitian yang disebut praktek arti ( betekenis praktijk). Para ahli
semiotika jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan
analisis mereka dengan pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang
sukses zaman itu, yakni psikoanalisis dan marxisme (van Zoest, 1993:5).Tokoh
semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is constructed as
a hierarchy of semantic systems
(Lotman, 1971:61). Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena hirarki
sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam
konteks sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi,
(3) lambang sebagai dunia simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan
kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah makna. Orientasi
kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat bahasa salah satunya
tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang digunakannya.
Adanya kesadaran
bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih lanjut
juga menjadi dasar dalam komunikasi antaranggota masyarakat bahasa itu sendiri.
Dalam kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau
tidak, pastilah dilakukan identifikasi.
Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda
kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa bunyi prosodi, kinesik, maupun
konteks komunikasi itu sendiri.
Dengan adanya
identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik bagi
penutur maupun bagi penanggapnya.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Abrams,
M.H., 1981.A
Glosary of Literary Term.New York: Holt,
Rinehart and Wiston.
Budiman,
Manneke. 2002 “Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia:
Tanda yang Retak Jakarta:Wedatama
Widya Sastra.
De
de Saussure, F. 1988. Course in General Linguistics.Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, Hoed, Benny H. 2002.“Strukturalisme,
Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang
Retak .Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Nasutiaon, Ikhwanuddin. 2008. “Sistem dan Kode
Semiotika dalam Sastra: Suatu Proses Komunikasi”dalam Jurnal Ilmiah Bahasa dan
Sastra Universitas Sumatra Utara Vol No 2 Oktober 2008.