Jumat, 30 Mei 2008

Cerpen

Malam Sepi
Oleh : Rasmian

SMA Wachid Hasjim Maduran Lamongan Jawa Timur

Malam ini sepi. Tak ada suara jengkrik bersahutan. Tak ada anjing menggonggong. Tak ada langkah kaki melintas di jalan-jalan aspal. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Bisanya tiap malam anjing peliharaan rumah sebelah selalu berkali-kali meraung. Pertanda ia mencium bau manusia yang tak dikenalnya. Mungkin saja ia senang, sebab jika tak ada sesuatu yang mencurigakan berarti ia bisa pulas tidur dan beristirahat. Menikmati malam dengan penuh kepuasan. Sebab esok hari anjing-anjing tersebut masih terus berjaga demi keselamatan sang majikan.

Berbeda dengan nasib anjing tersebut, Pak Darno malam ini tidak dapat memejamkan matanya. Entah karena memang suasana sepi, atau karena udara yang gerah sehingga mata sulit diajak kompromi. Hembusan angin yang enggan menyapa kulit, memang membuat udara menjadi sangat panas. Keringat bercucuran tak mau berhenti.
Tapi bukan karena itu Pak Darno tidak dapat tidur. Terlintas di pelupuk matanya rencana yang besar berputar-putar. Berulang-ulang melintas entah berapa kali. Sebuah rencana ambisius yang harus segera dikerjakan. Sebab jika saja rencana tersebut gagal, maka Pak Darno akan kehilangan muka. Bagaimana masyarakat menilai Pak Darno. Apalagi dihadapan menantunya, serta besannnya.

“ Ini adalah kesempatan baik buatku”, gumam Pak Darno berkali-kali. “Tapi perlukah saya melakukan itu”?, bisik hati Pak Darno di sisi lain. “ Bukankah ia anak yang kubanggakan, ia telah membantu hidupku selama ini. Jika tak ada ia, bisakah aku mencukupi kebutuahan keluarga dan biaya sekolah adik-adiknya”? Justru karena itulah aku harus melakukan.
“Bagaimana Pak Wahyudi nanti melihatku. Pastilah ia marah kepadaku. Aku orang tua yang tidak dapat mendidik anak-anakku. Aku orang tua yang tolol dan gagal menjadi orang tua. Jika saja aku dituntut untuk mengembalikan semua yang diberikan kepadaku dari mana aku dapat mengembalikannya.

“ Yudi, Yudi “?, kata Pak Darno berulang kali.
Sampai Pak Darno harus mengambil keputusan. “ Ya, aku harus bertindak tegas dan mengakhiri drama ini selekas mugkin agar hidupku terlepas dari dosa” katanya menyakinkan diri.
Dengan sekejap ia telah meluncur ke belakang rumah dan kembali ke ruang keluarga berukuran 3 x 4 meter itu. Di atas sofa empuk yang dibeli Wahyudi setahun yang lalu kembali ia menyakinkan diri. Keyakinannya telah mantap. Ia berjalan ke ruang tamu, kembali ke ruang keluarga, lantas masuk dapur. Sesekali pandangannya celingak- celinguk. Beberapa kali candela dibuka dan ditutup menanti kedatangan Yunita.
Seperti hari-hari bisanya Yunita malam ini telah pergi. Entah kemana ia. Tak ada sepatah katapun terucap kepada suaminya atau Bapaknya, atau ibunya. Tetapi tanpa pamitan pun mereka faham ke mana Yunita pergi malam ini.
Pak Darno pun faham akan hal itu. Tapi ia tak memiliki kekuatan untuk melarang. Sudah terlanjur. Nasi udah menjadi bubur. Tak lagi bisa dikembalikan ke asalnya.
Pak Darno tidak memiliki kekuatan untuk melarang Yunita pergi atau ia tidak mau melarang. Tidak ia tidak seperti itu. Dalam hatinya yang paling dalam ia tidak setuju. Selalu muncul dalam fikirannya untuk menghentikan tabiat Yunita itu, tapi Bu Yatmin selalu melarangnya. “Biarkan saja toh ia tidak mengapa-mengapa”, demikian kata Bu Yatmin jika pak Darno bicara soal nasib anaknya akhir-akhir ini.

“Itu dulu tak mengapa-mengapa” gumam Pak Darno menyela pikirannya teringat ucapan Bu Yatmin. “ Sekarang telah ada hasilnya. Semua orang tahu, tetangga tahu, teman dekat saya tahu, teman Pak Wahyudi tahu, bahkan mungkin murid Pak Wahyudi pun tahu. Siapa yang tidak tahu bahwa ah, itu bukan dari hasil suaminya. Ini semua kesalahanku. Aku harus menebus kesalahan ini. Mumpung tak ada lagi yang bisa menghalangi langkahku. Tidak juga Ibumu.
Bertahun- tahun ibumu telah menggelabuhi menantunya dan ini kesalahanku. Aku tak kuasa menghentikannya. Bukan karena aku tak bisa menjadi kepala keluarga. Tapi Ibu selalu beralasan ini menguntungkan kita. Memang sejak Yunita berhubungan dengan Yanto uang belanja ibumu meningkat. Jika saja Yanto datang pasti ia meninggalkan uang belanja. Tidak saja uang belanja tapi uang untuk membeli perabotan rumah. “Meski kita tidak punya rumah kita harus segera menabung membeli perabotan, nanti kalau semua sudah cukup kita akan beli rumah , kita pindah, perabotan hasil pembelian kita pindah ke rumah kita, dan kita dapat hidup bebas tidak bersama anak cucu. Aku malu kalau kita selalu di sini” , demikian alasan Ibu tidak melarang Yanto datang ke rumah jika suami Yunita tidak ada di rumah.
Tidak salah, beberapa bulan terakhir ini Ibu Yatmin telah membeli TV 21”, VCD player, buffet, kompor gas, rice cooker, dan entah apa lagi yang semuanya sebenarnya sudah ada di rumah itu. Pakiannya pun gonta-ganti, layaknya seorag penyanyi yang saban hari show sehingga harus berganti-ganti pakaian agar penonton tidak bosan melihatnya. Beli pakaian pun tak mau di Lamongan, mesti pergi ke Surabaya. Di sana juga tidak akan ke Pasar Turi, Pabean atau Kapasan, paling jelek di JMP.

Tadi pagi sang Ibu juga pergi tanpa aku. Padahal ia tahu bahwa keadaan di rumah sudah tak menentu. Wahyudi jarang pulang siang. Jangankan pulang siang, sore pun tak pernah. Ia selalu datang malam hari. Paling cepat pukul 09.00 malam. Itu pun selalu terdengar suara bentakan- atau tangisan istri atau anaknya.
Suatu ketika pertengkaran Yunita dan suaminya tidak dapat dihindari lagi. Mungkin suaminya telah memendam kemarahan sejak lama. Sebagai lelaki harga dirinya telah diinjak-injak.
Pak Darno mengintip dari belakang, mendengarkan kisah tersebut. Sayup-sayup terdengar suara Pak Wahyudi. “ Memangnya apa yang kau dapat dari dia”, ucap Pak Wahyudi keras. “Apa kau tidak melihat, aku mebanting tulang untuk siapa? Aku cukup sabar mendengar tingkahmu selama ini. Tapi engkau malah pergi dari rumah. Pulang malam, memang aku tidak tahu apa yang kau lakukan. Aku tahu semuanya. Hari Rabu, 11 Desember kemarin kau di mana. Dua hari kemudian setengah delapan siapa yang menjemputmu dan pergi ke Surabya hingga larut malam. Apa yang kau perbuat. Jadi itu hasil didikan Ibumu. Siapa yang membelikan TV, kulkas ibu itu”, ucap Pak Wahyudi berapi-api. Seakan ia tak melihat lagi di depannya adalah istri dambaannya.
Tiba-tiba saja Pak Wahyudi terdiam.Ia ingat bangaimana perjuangan mendapatkan istrinya. Ia ingat bagaimana ibunya menasehati, melarang percintaannya dengan Yunita. Pertengkaran itu tiba-tiba berhenti begitu saja sebab Sang suami membanting daun pintu dan keluar rumah.
Malam begitu larut.

Sementara Yunita hanya menangis, tidak ada kata yang terucap dari bibirnya. Seakan ia mengiyakan semua yang diucapkan suaminya. Raut mukanya masam. Wajahnya yang oval, kulitnya yang kuning langsat bersih tak kelihatan dapat menambah kecantikannnya. Dibalik wajahnya yang sayu terpendam kisah panjang berumah tangga dengan Pak Wahyudi.
Pak Darno memandangi putri sulungnya dengan penuh iba, tapi geregetan. Dibalik rasa iba, terlintas ada bayangan sang Istri. Ini semua gara-gara kamu ibu. Mengapa kau selalu menghitung semuanya dengan uang.
“Bagaimana kabarnya Nak Guru”?, demikian Bu Yatmin kerap memanggil Pak Wahyudi saat belum menjadi menantunya. Panggilan yang mesra penuh hormat. Saban hari Pak wahyudi pun akhirnya sering berkunjung ke rumah keluarga Bu Yatmin. Bermain catur, atau sekedar ngobro-ngobrol. Maklum saja di desa itu Pak Wahyudi adalah anak kos-kosan. Di rumah kos tak ada siapa-siapa yang dapat diajak bicara. Untuk menghilangkan rasa kangen dengan keluarga Nganjuk Pak Wahyudi memang sering melampiaskannya dengan bermain ke banyak tetangga. Dari situlah ia mendapat banyak teman.Selain untuk menghela rasa kangen, bertemu tetangga juga dapat dipakai untuk meyalurkan hobinya bermain catur, voli dan sepak bola bersama anak-anak kampung.

Kepada keluarga Bu Yatmin Pak Wahyudi selalu menaruh hormat. Keluarga ini dianggap sebagai saudara. Tiap kali Pak Wahyudi datang selalu disambut dengan ramah oleh semua anggota keluarga. Bu Yatmin terutama, meski ibu empat anak ini tidak dapat bermain catur, tetapi beliau sering nimbrung dan tak jarang menyuguhi kopi atau makanan kecil—singkong, ketela rambat, jagung rebus atau apa saja yang ada. Tak jarang sampai membelikan makanan kecil tersebut di warung kecil di dekat rumah Bu Yatmin.
Suatu saat melintas gadis usia SMA di tengah permaianan catur antara Pak Wahudi dengan Pak Darno. “ Sekak”, kata Pak Darno mengejutkan. Tapi Pak Wahyudi tidak bereaksi. Pandangan mata Pak Wahyudi setengah ke papan catur, setengah gadis mungil itu. “ Sekak”, kembali Pak Darno mengulang serangannya. Pak Wahyudi tidak bereaksi. Pak Darno melirik Pak Wahyudi. Ia tahu Pak Wahyudi tidak konsentrasi ke papan catur, tetapi kepada anak gadisnya. Kali ini ia pura-pura tidak tahu, “ Ayo ini sekak, masak tidak menyerah kau”, suara Pak Darno untuk yang ketiga kalinya. Pak Wahyudi pun tersentak kaget, “OK siapa yang kalah, belum apa-apa ini, lihat balasan saya”, demikian Pak Wahyudi menyembunyikan rasa kagetnya.
“ Pak Wahyudi, tolong Dong Yuni diantar ke Garuda entar malam ada film bagus lo Pak”, pinta Yunita suatu saat. Entah mengapa aku seperti kerbau dicocok hidungnya. Aku menurut saja diajak Yunita. Padahal jarak desa tempat kosku dengan Babat di mana gedung tua yang di setting sebagi gedung film di kota Babat hampir berjarak 30 km. Aku juga heran mengapa Pak Darno seakan tanpa beban melepas kepergian kami malam itu. Dan kami pun sampai di Babat. Di sana kami nonton film India. Entah apa judulnya. Aku tak begitu konsentrasi melihat. Kami mencoba ngobrol layaknya muda-mudi yang sedang kasmaran padahal kami baru saja kenal.
“Ah, astagfirullah”, Pak Wahyudi tersentak dari tidurnya malam itu. “Banyak bayangan di otakku”, keluhnya. “ Mengapa aku jadi mimpi tentang gadis itu”, gumamnya sambil bergeliat dan lantas berjalan menuju belakang untuk ambil air wudhu. Rupanya aku baru sadar malam ini aku belum sholat Isya’.

Mimpi Pak Wahyudi seperti aja petunjuk. Sebab sore itu Yunita datang ke rumah di antar sang ayah. Ia datang untuk meminjam buku sejarah. Katanya, ada PR dari gurunnya yang tak bisa dikerjakannya.

Hari-hari berikutnya seakan pertemuan sudah diatur saja. Jam, hari dan mungkin acara yang hamper sama mereka jalani. Tak pernah ada janji, tapi mereka sepakat untuk ketemu.
Hubungan mereka berlanjut.

‘’ Ibu-ibu?”, mengapa kau dari dulu tak berubah. Tiba-tiba Pak Darno teringat istrinya.
“Kamu belum punya siapa-siapa kan?”, tanya Bu Yatmin kepada suatu malam. Belum sempat dijawab Yunita, Bu Yatmin menimpali kalimat, “Kalau kau cari calon suami carilah yang udah mapan. Sudah penghasilan tetap, dan cari yang dewasa agar dapat membibimngmu. Orang yang sudah mapan pekerjaannya akan membuat kehidupan kluarga tenang. Sebagai istri kamu juga tenang, tidak memikirkan sana sini”.

“ Saya kira Pak Wahyudi pantas dan dialah orang yang paling cocok buatmu. Demikian Bu Yatmin menasehati anaknya.
Yunita bukan gadis yang bertipe agresif. Ia tidak dapat mengelak saran dan perintah ibunya. Padahal ia telah memilih Anton untuk menemani jalan hidupnya kelak.
Apapun acara yang dibuat Yunita dengan Pak Wahyudi adalah saran dan perintah ibunya. Suatu misal Yunita jalan-jalan ke Mall di Surabaya adalah atas ini siatif Bu Yatmin. Yunita nonton ke Garuda Babat juga atas saran dan perintah ibunya. Tapi entah mengapa Yunita dapat menikmati perintah itu.

Ada kekuatan dahsyat menjadikan Yunita sanggup menjalani hubungan dengan Pak Wahyudi.Rasa takut masuk neraka jika membantah perintah ibu. Demikian Yunita beralasan mengapa ia berpacaran dengan lelaki dewasa ketika ditanya teman SMA-nya. Jauh di lubuk hatinya Anton adalah alternatif kebahagiaan remaja yang sedang berpacaran. Meski telah menjalin ikatan dengan Pak Wahyudi ia tak pernah melepas Anton.
Suatu saat Yunita pergi tanpa Pak Wahyudi ke Waduk Gondang. Sudah menjadi rutinitas pengelola waduk tiap akhir tahun mengelar acara menjelang tahun baru dengan berbagai pertunjukan. Tahun ini, pengelola Waduk Gondang menghadirkan penyanyi nasional Nidji. Tak pernah dilewatkan Yunita acara-acara seperti itu di waduk ini. Dan kepergian Yunita kali ini tidak bersama Pak Wahyudi melainkan bersama Anton kekasihnya.
Tak percaya dengan ijin Yunita, Pak Wahyudi membuntuti Yunita. Betapa kagetnya Pak Wahyudi melihat kekasihnya dapat lebih mesra dibandingkan dengannya. Tak tahan melihat kekasihnya bersama orang lain Pak Wahyudi puang dengan kesal.

Kali ini Pak Wahyudi dapat memaafkan hal tersebut.
Tetapi ternyata hal tersebut tidak hanya dilakukan satu dua kali oleh Yunita. Sering kali. Pak Wahyudi jadi kesal, “Bagaimana mengatasi hal ini”. ” Aku harus segera bermusyawarah dengan Bu Yatmin’’, tiba-tiba muncul ide dalam pikirannya.
“ Rasanya saya sulit menceritakan hal ini, tapi saya harus bercerita pada Ibu”, demikian ia mengawali perbincangan itu pada sang calon mertua.
“Apa yang terjadi? Ceritakan saja, jangan sungkan-sungkan, jika saja saya mampu pasti akan saya bantu”, jawab Bu Yatmin di dampingi Pak Darno.
Dengan sedikit malu Pak Wahyudi mengawali cerita tentang kisah calon istrinya. Dalam sekejab suasana menjadi hening. Tak ada suara. Mereka seakan saling berfikir dan menunggu apa yang akan diceritakan Pak Wahyudi, sementara Pak Wahyudi ancang-ancang kalimat apa yang pertama akan muncul dari mulutnya.

Tiba-tiba kepala Pak Darno terasa berat. Ada beban mendengar semua kisah anaknnya.
“ Walah anakku, mengapa kamu seperti aku, tidak kuasa menolak skenario-skenario yang di buat ibumu. Bukankan kau udah punya suami yang setia, baik, cekatan dan selama ini telah membantu kehidupan kita”, lagi-lagi Pak Darto berguam. Kali ini ia kaget hentakan kucing yang jatuh dari atap rumah dan saling bekejaran.

Ya, malam agak dingin mugkin saja kucing itu kesepian. Lama tidak berjumpa suaminya. Kerinduan yang mendalam dengan orang yang dicintainya membuat ia tak menghiraukan lagi lingkungannya. Mereka tidak melihat lagi apakah yang dilakukannya itu mengganggu orang lain, membuat gaduh suasana. Atau bahkan kucing itu baru saja kenal, tidak mahramya, tapi berbut nekat begitu saja. Bercumbu, berkejaran di hadapan orang. Memang ia tak tahu malu.
“Apakah itu seperti anakku”, Pak Darno menghela nafas panjang. “ Bukan, bukan seperti kucing itu. Kucing itu boleh-boleh saja begitu. Sebab ia diciptakan oleh Allah untuk melestarikan ekosistemnya. Ia tidak punya tugas lain kecuali beranak agar habitatnya tidak punah. Sebab kepunahan habitat kucing mengakibatkan ekosistem tidak seimbang. Coba saja kucing punah, siapa yang akan memakan tikus-tikus itu? Ular, ular juga sudah jarang ditemui. Maka tikus akan merajalela yang mengakibatkan petani akan bisa merugi karena sawahnya dibabat tikus semalaman.”

“Tapi Yunita tidak seperti itu. Ia memiliki akal, mimiliki hati, memiliki empati yang berbeda degan si kucing tadi. Meski tidak tamat perguruan tinggi karena terburu menikah, setidaknya ia punya ijazah SMA. Sudah cukup bekal baginya untuk mengerti hidup. Memahami keadaan keluarga, memahami suaminya yang setiap hari bekerja. Pagi berangkat sore bahkan malam baru pulang semua kembali kepada Yunita.” Kali ini Pak Darno mengelus dadanya.
Pak Darno memang sangat hormat pada menantunya. Betapa hormatnya ia kepada menantunya itu, sampai-sampai ia memanggil lelaki yang umurnya separuh lebih muda daripadanya, lelaki yang melahirkan cucu pertamanya itu dengan sebutan Pak. Dalam suatu kesempatan Pak Darno bersama menantunya di Dispenda Kabupaten menyebut lelaki bertubuh kekar itu Pak Zudi. Kepala Dispenda kaget bukan main. “ Siapa ia?”, Tanya Kepala Dispenda kepada Pak Darno. Pak Darno belum sempat membalas pertanyaan tersebut, Pak kepala Dispenda kembali bertanya, “Bukankah ia Pak Wahyudi guru SMP Negeri Babat itu”. “ Bukankah beliau anak menantu Bapak”, kembali Pak Kepala Dispenda menegaskan pertanyaannya. Pak Darno hanya tersenyum menjawab pertanyaan atasanya itu.

Ternyata Pak kepala Dispenda hafal benar dengan Wahyudi. Ia memang guru teladan tahun lalu. Tak hanya Pak Kepala Dispenda saja yang hafal dengan Wahyudi, Pak Kepala Dinas Pendidikan, Ketua DPRD bahkan Pak Bupati pun kenal. Pak Wahyudi memang aktif dalam kegiatan di sekolah.. Apapun bentuk kegiatan di sekolahnya ia selalu ada dan mejadi bagian dari kegiatan tersebut mulai dari kegiatan OSIS, kegiatan kepramukaan, PMR juga bisa. Dalam hal pembangunan fisik sekolah ialah yang membuat proposal, kadang menjadi pelaksana sampai pelaporannya.

Di mata murid-muridnya Pak Wahyudi juga dipandang sebagai guru yang perhatian. Jika saja ada siswanya yang tidak masuk sekolah selalu ditanyakan kemana siswa A, kemana siswa B. Bahkan tidak hanya itu, sering Pak Wahyudi keluar masuk kampug menjenguk siswanya yang sakit atau yang tidak masuk sekolah.
Meski ia guru Sejarah tapi Pak Wahyudi juga bisa olah raga. Olah raga yang paling disukainya adalah sepak bola. Tak heran jika ia juga dipercaya untuk melatih sepak bola prestasi bagi siswa-siswanya. Terakhir ia mndapat kepercanyaan dari Bupati untuk menjadi manager sepak bola anak Kab. Lamongan.
Dalam masyarakat lingkungan RT 4, RW 1 di kampungnya ia mendapat kepercayaan sebagai ketua RT. Bagi warganya ia dikenal orang yang sopan dan penuh perhatian dengan warga sekitar. Sekiranya tetangga ada yang mendapat kesulitan apapun bentuknya tak segan-segan ia menawarkan jasa utuk membantunya.

Selama hampir sepuluh tahun ia telah menjadi bagian keluarga Pak Darno. Tak heran mertuanya sangat menaruh hormat. Sebagian besar kebutuhan keuangan keluarga mulai kebutuhan anak, istri sampai mertua menjadi tanggungannya. Entah mengapa demikian.
Menurut cerita tetangga, sejak muda Pak Darno dan Istri tergolong keluarga yang tidak dapat manajemen keuangan dengan baik. Masak seorang pegawa negeri, punya jabatan di pemerintahan sampai usia pensiunannya kurang 54 gajian kok belum punya rumah, celakanya masih menumpang menantunya. Anak-anaknya pun tak ada yang sekolah sampai tinggi, paling SMA udah.

“Tapi ayah itu masih baik ya” kata Pak Wahyudi pada istrinya dalam suatu kesempatan. “Meski beliau begitu tak seperpun uang tetangga dihutangnya. Hutang kepada toko pun tak pernah. Paling-paling hutang uang KPN atau Bank.” “ Ya dan gajinya nol,nol dan makannya numpang kita, demikian Yuita menimpali sanjungan suaminya kepada ayah tercinta dengan muka sinis dan cemberut.

Dalam beberapa hentakan di kepala Pak Darno terlintas besannya di Kota Batu. Selama mejadi besan Pak Darno hanya sekali ke sana. Itu pun dilakukan saat lamaran anaknya.
Terlintas di kepala Pak Darno sebuah surat Pak Wahyudi kepada ibunya jauh sebelum lamaran itu dilaksanakan. Demikian bunyi surat itu.
‘’ Kagem Ibunda tercinta di Batu.

Ibu Ananda di Lamongan baik-baik saja. Sehat dan sejahtera. Semoga Ibu di Batu tercinta dalam keadaan sehat dan masih mendapat lindungan Allah Swt. Bagaimana cuaca Batu saat ini? Masihkah seperti Nanda masih kecil?
Ibu, sebagaimana pesan Ibu akhirnya Nanda memutuskan untuk segera menikah. Ibu jangan kaget sebab Nanda baru memberi kabar. Insya’Allah calon menantu Ibu cocok bergaul dengan Ibu.
Siapa dia? Ibu penasaran ya?
Namanya Yunita. Ia baru saja menamatkan SMA tahun ini. Anak Pak Darno pegawai Pemkot. Insya’Allah bulan tiga empat bulan mendatang ke Batu.
Restu ibu sangat Nanda harapkan.Do’akan semuannya lancer-lancar saja ya Bu.
Udah dulu Bu surat Nanda. Semoga Allah SWT meretui semua yang Nanda lakukan. Semoga pula ibu sehat-sehat selalu. …
Dua minggu setelah surat tersebut , kembali Pak Wahyudi menulis surat kepada ibunya.

Maafkan Nanda Ibu, sebab Nanda kembali menulis surat buat Ibu.
Bu, Yunita yang Nanda katakana sangat cocok dengan Ibu ternyata selingkuh. …
Usahakan dengan cara apapun ia dapat kembali kepada Nanda Ibu? Tolong Ibu. Sebab di sini semua orang sudah tahu kami akan menikah. Nanda tidak mau malu dihadapan teman-teman. Apalagi saya merasa sangat cocok dengannya.
Bantuan dan do’a Ibu sangat Nanda tunggu. …..

Demikian diantara jawaban Bu Khusnul panggilan akrab orang tua Pak Wahyudi.
Kepada Anakku Tersayang di Lamongan Batu, Agustus 1999
….
Saya senang kamu sudah punya pilihan. Saya bersyukur kamu sudah siap menikah.
Mendengar kabarmu, Ibu jadi ikut prihatin. Semoga kamu kuat! Do’a ibu selalu menyertaimu. Ibu bersama Bapak telah berunding. Jika memang kehendakmu Ibu akan selalu membantu. Tetapi ibu khawatir jangan-jangan calon istrimu nanti sulit sembuh. Artinya jika sudah bersuami denganmu bisa saja kambuh. Jadi, jika memang ada pengganti yang lebih baik, sebaiknya kamu cari ganti….
Dalam hentakan berikutnya ia bangkit semakin percaya apa yang dilakukannya sekarang benar. Maka bergegaslah menyambut Yunita pulang. Kembali telinganya dipasang, matanya melihat ke luar candela.
Tiba-tiba ada suara langkah kaki di luar. “ Itu pasti dia”, pikir Pak Darno, sebab tadi dia berangkat agak pagi. Sepuluh menit setelah suaminya berangkat ke kantor. Dan sejauh ini suaminya juga belum pulang. Mungkin saja Pak Wahyudi ada lembur. Menyelesaikan proposal, atau laporan akhir semester, atau bahkan tiba-tiba Pak Karno kepala sekolahnya mengajaknya ke luar kota. Tak ada kabar soal itu.

Wajah Yunita terlihat kusut. Rambutnya tidak tertata rapi. Sorot matanya hambar dan kosong. Ia berjalan seakan tanpa kekuatan. Langkahnya gontai.
Pak Darno curiga dengan tingkah polah Yunita. Apa yang sudah dilakukan nya seharian. Melihat polah tingkah anaknya malam ini, tangan Pak Darno gemetaran.
Ditangannya terhunus sebuah pisau. Mata melotot memandangi pintu yang sebentar lagi akan dibuka Yunita.

Dalam beberapa detik Yunita melewati pintu depan rumah.
Kriyeet! Suara daun pintu dari kayu jatu tua bergetar.
Pada saat itu dihentakkan tangan Pak Darno ke perut anaknya. Pak Darno tak sadarkan diri.
Ah, malam sepi mengapa malam ini aku bermimpi buruk seperti ini.

SELESAI

1 komentar:

Ifuel_Anakilanks$ mengatakan...

pak buatnya yang lebih bagusss